Friday, November 21, 2008

Jablai

Rabu Malam…

Malam ini cukup romantis karena langit sedang bertaburkan bintang. Tetapi gak berlaku bagi penghuni kontrakan di Jalan Jombang IC No. 23A. Amelia dan Sindy sedang menyelesaikan tugas kuliah mereka di ruang tamu, berkawankan notebook. Sedangkan Aisha, asik dengan novel Islami yang baru dibelinya.
Tugasnya yaitu membuat perencanaan pengembangan suatu wilayah. Tidak langsung terjun ke lapangan sih, tetapi melakukan analisis menggunakan beberapa jenis peta dengan daerah yang sama. Entah kenapa tugas ini mereka dapatkan di mata kuliah Geografi Regional Indonesia, bukan di mata kuliah Geografi Pengembangan Wilayah!
Peta-peta itu (peta administrasi, peta penetapan fungsi jalan, peta pengembangan kawasan prioritas, peta sebaran pemukiman, peta hirarki kota-kota, dan peta rencana sistem pusat-pusat) dioverlay agar menghasilkan peta baru yang disesuaikan dengan pengembangan yang direncanakan. Untungnya mereka cukup terampil menggunakan program SIG seperti Arc GIS, Map Info, dkk walau masih tingkat pemula sehingga gak perlu mengerjakannya secara manual.
“Sha, siapa tuh di depan pagar jam segini?” Amelia melihat cowok, entah siapa, memandangi kontrakan mereka.
Aisha pun mendatangi cowok tersebut lalu bertanya, “Cari siapa, Mas?”
“Cari kalian.”
Aisha memandang cowok itu dari ujung kepala hingga kaki, meneliti dengan tajam untuk menemukan hal yang gak beres dari cowok itu. Cowok itu menggenakan sweater coklat dengan dalaman t-shirt putih yang ukurannya sedikit lebih panjang dan celana jins biru panjang.
Cowok itu berumur sekitar 25 tahun. Tingginya lumayan, wajahnya pun gak bisa dibilang jelek. Gak ada yang aneh, kecuali wajahnya yang terlihat linglung walau sepertinya baik-baik saja.
“Cari kami? Memangnya ada apa?”
“Mau kenalan.”
“Kenalan? Malam-malam begini? Besok atau lusa memangnya gak bisa?!” lalu entah mengapa otak Aisha memerintahkan untuk lari, masuk ke kontrakan, lalu menutup pintu dan tirai jendela dengan wajah pucat.
Untungnya sejak jam delapan tadi Aisha sudah mengunci pagar. Tadi turun hujan yang cukup lebat. Malam dingin dan becek gini tentunya orang-orang malas keluar rumah atau melakukan aktivitas bertamu. Makanya, cowok itu gak bisa masuk ke halaman kontrakan. Rupanya secara gak sadar itu merupakan firasat akan terjadi sesuatu yang mengejutkan.
“Ada apa Sha, kamu kenapa jadi pucat gitu?”
“Cowok itu siapa?”
“Gak tau. Orang gila mungkin. Dia cari kita, ngajakin kenalan, jam 09:20 malam,” jawab Aisha sambil melihat jam dinding.
“Orang gila?” dengan takut-takut Sindy memandang keluar dari balik tirai. “Dia masih di depan pagar.”
“Kamu takut sama orang gila Sha?” tanya Amelia heran sambil ikut-ikutan memandang cowok itu dari balik tirai.
“Secara, calon psikolog juga manusia. Kalau ketemunya di rumah sakit jiwa aku masih bisa berpikir tenang, tapi gak kalau ketemunya di depan kontrakan malam-malam gini, ngajak kenalan lagi! Masih lumayan kalau dia gila, kalau ternyata psikopat?” Aisha benar-benar shock dibuatnya.
“Lia, jangan keluar! Di luar sepi. Kalau dia ngapa-ngapain gimana?” larang Sindy yang ikut-ikutan shock.
“Telepon Kak Fajar atau Randy, terserah siapa buat ngusir cowok itu. Pokoknya supaya cowok itu pergi dari sini,” pinta Aisha sambil menyerahkan ponselnya. Meminta Amelia atau Sindy menghubungi kekasih mereka.
“Biar kutelepon Kak Fajar. Kontrakannya kan lebih dekat daripada rumah Randy, tentu dia bisa lebih cepat datang,” Amelia pun menghubungi kekasihnya.
Gak sampai sepuluh menit Kak Fajar datang bersama kedua sahabatnya. Ketika mereka datang, cowok itu masih berdiri di depan pagar kontrakan. Mereka pun akhirnya mengajak cowok itu duduk di teras lalu mengobrol. Amelia, Sindy, dan Aisha mendengarkan dari dalam.
Cowok itu bernama Rizal. Pernah kuliah di sebuah universitas swasta tapi gak selesai. Sekarang kerja di sebuah toko elektronik di Pasar Besar (siapa yang tahu dia berkata jujur atau bohong). Entah apa lagi yang mereka bicarakan karena terdengar kurang jelas dari dalam.
Sepuluh menit kemudian Brian dan Angga berhasil mengajak Rizal pergi dari kontrakan.
“Ternyata kamu takut juga ya Sha sama orang gila,” kata-kata itu pun terucap dari mulut Kak Fajar.
“Tadi Amelia, sekarang kakak. Kalian emang solmet ya. Seiya-sekata banget!” ucap Aisha dengan nada kesal. Kak Fajar memandang Amelia dengan heran.
“Tadi aku bilang hal yang sama lalu Aisha bilang calon psikolog juga manusia. Kalau ketemunya di rumah sakit jiwa dia masih bisa berpikir tenang, tapi gak kalau ketemunya di depan kontrakan malam-malam gini, ngajak kenalan lagi! Masih lumayan kalau dia gila, kalau ternyata psikopat?” Amelia menirukan kata-kata Aisha.
Kak Fajar tertawa kecil. “Maaf ya Sha kalau ucapan kakak tadi bikin kamu kesal.”
“Yang penting sekarang dia sudah pergi. Puff, semoga dia gak datang lagi!” komentar Sindy sambil kembali mengerjakan tugas Geografi Regional Indonesia-nya.
“Kakak pulang ya. Kalau ntar ada apa-apa hubungi aja,” Amelia mengangguk, kemudian mengantar kekasih tercintanya sampai depan pagar.

Minggu pagi…

Entah kenapa Aisha, Sindy, dan Amelia bermalas-malasan. Biasanya pagi-pagi sekali mereka jogging di seputaran kampus lalu menuju pasar Minggu untuk membeli sarapan.
Amelia, masih tidur lelap di depan tipi sambil memeluk boneka monyet kesayangannya. Sepertinya tadi malam dia baru memakan apel beracun dan hanya akan terbangun ketika mendapatkan kecupan di kening dari sang pangeran. Di sampingnya terdampar Sindy, masih dalam proses menyadarkan diri dari tidurnya yang bertaburkan mimpi indah. Dia bermimpi bertualang bersama Randy, kekasihnya, mengelilingi dunia menggunakan kapal pesiar yang sangat mewah. Sedangkan Aisha, menonton Sponge Bob dengan posisi ulat bulu dalam balutan kepompong alias selimut tebalnya.
Tadi malam memang hujan, sesaat setelah adzan Magrib berkumandang sampai Subuh dengan intensitas mati enggan hidup gak mau.

Hujan…
Teduh...
Hujan…
Teduh…
Hujan…
Teduh…

Akhirnya mereka menghabiskan malam Minggu menonton beberapa buah film yang mereka sewa dari rental langganan. Kebetulan saat ini mereka bertiga sedang libur bulanan dari yang namanya sholat. Jadi, bangun siang pun gak masalah.
“Mbak Aisha, mbak Sindy, mbak Amelia…. Susu segarnya datang nih…,” panggil Pak Wito, tukang susu segar langganan mereka dari depan pagar.
“Ya Pak, tunggu sebentar…,” jawab Aisha sembari memasang jilbabnya lalu berlari keluar.
“Mbangkong (bangun kesiangan) ya mbak?”
“Iya Pak. Tadi malam begadang sih,” Aisha mengambil tiga botol susu segar berukuran sedang. “Terimakasih Pak.”
“Sama-sama Mbak. Permisi…,” Pak Wito pun berlalu.
“Permisi…,” ucap seorang cowok. Saat itu Aisha berniat keluar lagi untuk menutup pagar karena tadi, dengan membawa tiga botol susu hal itu susah untuk dilakukannya.
Deg! Rizal…
Jantung Aisha langsung dag-dig-dug.
“Tenang Sha. Dia hanya seorang cowok pengidap schizofrenia,” akhirnya Aisha mendatangi Rizal yang telah berada di depan teras mereka.
“Ada apa, Mas?”
“Aku belum dikeloni (belai) istriku. Mbak mau gak ngeloni aku?”
“What?!” Aisha shock sesaat. Ngeloni?! Emang aku bojo (istri) mu! Namun akhirnya Aisha berhasil menguasai diri. Lima belas menit kemudian Aisha masuk ke kontrakan.
“Kebetulan kamu sudah bangun. Gantian gih, kamu yang sekarang keluar hadapin Rizal,” Amelia yang sedang dalam tahap akhir melipat selimutnya langsung memandang keluar, menembus jendela kaca yang tirainya setengah terbuka.
“Jadi, yang di luar itu Rizal? Kok bisa?!”
“Memangnya kamu pikir siapa? Gih, bantuin Sindy. Aku sudah ngaku-ngaku sama Rizal punya anak dua, kelas dua SD sama TK nol besar.”
“Kalau Sindy?”
“Punya hobi kawin cerai. Sekarang saja dia sudah menjalani perkawinannya yang kelima.”
“Skenarionya kenapa bisa aneh gitu?”
“Dia bilang dia belum dikeloni sama istri yang notabene belum pernah dimilikinya. So, sekarang dia pingin cari istri biar selalu ada yang ngebelai.”
“Jablai ni ceritanya…,” Amelia tertawa kegeliaan. “Ya udah, aku panggil bala bantuan dulu, cuci muka dulu, baru bantuin Sindy menghadapi Rizal,” Amelia dengan cepat mengambil ponsel. “Yank, Rizal datang lagi tuh. Hurry up, sebelum aku bilang kalau aku punya penyakit kelamin gara-gara sering ML dengan cowok sembarangan!”
Kali ini Fajar datang sendirian. Rada bingung dengan instruksi mendadak dan aneh dari kekasihnya, akhirnya Fajar tertawa ngakak setelah Amelia menceritakan penyebabnya.
“Aku senang kalau kalian benar-benar solmet. Tapi jangan kayak ini. Tadi Amelia, sekarang kakak yang tertawa. Kalau memang aku ada bakat jadi pelawak, ntar ingatkan aku buat ikutan audisi kampus Extravaganza,” Aisha mengeluh pasrah.
Mereka berempat akhirnya menghadapi Rizal bersama-sama. Cukup lama Rizal berada di kontrakan.
Naluri Aisha sebagai calon psikolog pun keluar. Dia sudah bisa meyakinkan dirinya bahwa Rizal bukanlah seorang psikopat. Berbagai pertanyaan dilontarkannya untuk membaca kejiwaan Rizal. Untungnya, Rizal dengan senang hati menjawab setiap pertanyaan. Kadang jawabannya nyambung, kadang gak mengena sedikit pun. Bahkan sempat-sempatnya Aisha mentes kepribadian Rizal menggunakan tes Wartegg.
Amelia juga mengajak Rizal bernyanyi bersama. Amelia meminta Fajar bermain gitar dan dia sendiri memainkan biolanya. Ternyata suara Rizal gak mengecewakan bagi seseorang yang mereka deteksi mengidap schizofrenia. Rizal bahkan meminta mereka mengiringinya menyanyikan lagu favoritnya.

Kau yang bilang aku terbaik untukmu
Kau yang bilang aku malaikat cintamu
Itu bohong… itu palsu
Itu bohong… itu palsu

Rizal terlihat begitu menghayati. Ditambah alunan musik yang dihasilkan dawai biola Amelia, lagu Malaikat Cinta versi akustik ini terdengar sangat menyayat hati bagi orang-orang yang suasana hatinya touching banget dengan lagu ini.
Kemudian datang seorang bapak yang mengaku orang tua Rizal. Mereka akhirnya mengobrol banyak dengan beliau. Beliau juga memohon maaf karena putranya sudah mengganggu bahkan sempat membuat mereka takut.
Cowok itu benar bernama Rizal, tapi gak benar kalau dia kerja di sebuah toko di Pasar Besar. Yang benar adalah dulu dia pemilik salah satu toko yang berada di Pasar Besar. Ternyata, Rizal sedang mengalami gangguan kejiwaan akibat shock ditinggal tunangannya menikah dengan cowok lain.
Sebenarnya psikiater sudah meminta agar Rizal dirawat di rumah sakit. Tapi ibunya tidak mau berpisah dengan Rizal. Dia merasa kasihan kalau Rizal harus berada di sana, bagai terkurung di penjara. Dengan berkumpul bersama keluarga, menikmati kasih sayang mereka, dan menemukan seorang cewek yang bisa membuatnya jatuh cinta lagi, beliau berharap Rizal bisa kembali normal kejiwaannya.
Pantas saja lagu Malaikat Cinta-nya Kapten itu dinyanyikannya dengan penuh penghayatan. Ternyata lagu itu memang touching banget dengan perasaannya.
Sakit karena cinta itu memang bisa membuat orang menjadi gila!

No comments:

Post a Comment