Wednesday, December 24, 2008

Gumbili Nagara

Pernah melihat gumbili (ubi) sebesar kepala kerbau?!
Itulah gumbili nagara (Ipomoea batatas L), ubi jalar khas Kalimantan Selatan. Dijuluki ubi raksasa karena gumbili nagara yang sejenis ubi jalar ini ukurannya bisa sebesar semangka, berbentuk lonjong tak beraturan, beratnya bisa mencapai empat sampai tujuh kilogram! Namun, bukan cuma ukurannya yang istimewa. Gumbili nagara rasanya enak. Jika digoreng, rasanya renyah, empuk, dan kandungan airnya tidak berlebihan. Adapun kandungan tepungnya tinggi dan tahan disimpan selama dua bulan.
Uniknya, gumbili nagara ini hanya bisa dibudidayakan di sekitar perairan rawa Sungai Nagara, terutama di Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Akan tetapi, petani hanya menanam gumbili pada saat musim kemarau ketika kawasan rawa menjadi daratan, bersama tanaman semangka, jagung, dan cabai.
Umumnya, gumbili nagara ini digoreng (pakai tepung maupun tidak) ataupun direbus. Makanan ini populer di sekitar Nagara, Kandangan, Banjarmasin. Selain populer di masyarakat Kalsel, gumbili nagara juga ”diekspor” hingga ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Akhmad Rijali Saidy, pengajar Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat di Banjarbaru, memaparkan berdasarkan penelitiannya ada empat jenis gumbili nagara, yakni gumbili kai lama, kai baru, gumbili habang, dan gumbili biru. Gumbili kai lama dan kai baru warna ubinya putih, sedangkan gumbili habang warna ubinya merah ke kuning-kuningan. Adapun gumbili biru, sesuai namanya, warna ubinya biru ke ungu-unguan.

Hidup di rawa
Luar biasa! Itulah kata-kata paling tepat untuk menggambarkan cara bertani di areal pertanian rawa perairan Sungai Nagara, Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Petani yang menanam gumbili nagara ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kehidupan alam di kawasan rawa. Maka, tidak heran kalau banyak petani rumah yang kosong karena selama sepekan para petani berada di pahumaan (areal pertanian atau kebun). Untuk menemui mereka, tamu harus menunggu mereka kembali pada Kamis atau Jumat (pulang untuk shalat Jumat, sekaligus menyiapkan bekal selama sepekan tinggal di lapau atau gubuk di kebun).
Lahan pertanian gumbili nagara ini tidak mudah dijangkau karena tidak bisa dicapai dengan kendaraan darat. Satu-satunya transportasi yang bisa digunakan adalah jukung atau perahu kecil bermesin yang dikenal dengan nama jukung ces. Meskipun area pertanian mereka jaraknya kurang dari 10 kilometer, namun untuk mencapainya memakan waktu 1,5 jam karena menggunakan jukung atau perahu kayu berkapasitas tiga orang yang hanya berkekuatan mesin 16 PK.

Alamiah
Untuk mengolah tanah, para petani manguit atau mangikih (membongkar dengan tangan) tanah dan manyepak atau tinjak (sepak atau injak dengan kaki untuk mengetahui besaran ubinya) dalam tanah. Untuk bisa bahuma (bertani) cepat, para petani biasanya maupahakan (mengupah) untuk membersihkan kumpai (rumput) dan semak belukar. Kumpai-kumpai yang mereka bersihkan tidak dibuang, tetapi dibiarkan hingga kering. Tujuannya, selain untuk melindungi ubi dari sengatan matahari juga menahan tanah tidak cepat kering. Setelah itu, mereka membuat tukungan (lajur pematang) untuk menanam bibit gumbili dengan jarak sekitar 1,5 meter.
Layaknya teknik pertanian organik, bertani gumbili nagara sampai sekarang masih bertahan dengan cara alamiah, artinya tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan. Kalaupun memakai obat, itu hanya dilakukan saat mengalami serangan hama ulat. Serangan hama babi, mereka atasi dengan menyalakan lampu minyak atau menyirami air seni manusia ke seluruh pematang kebun. Air seni itu dikumpulkan. Ternyata, babi hutan tidak berani datang selama 10 hari karena mencium air seni manusia!

Sumber:
Syaifulah, Muhammad. 2006. Gumbili Nagara, Ubi Raksasa dari Kalsel. Kompas 27 Januari 2006. (http://kompas.com/kompas-cetak/0601/27/daerah/2217771.htm)

No comments:

Post a Comment